Tampilkan postingan dengan label FILM. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label FILM. Tampilkan semua postingan

Masha and The Bear

Aman 8/02/2014
Sabjan Badio

Jepang dan Amerika--dan mungkin India--adalah di antara negara yang dipandang menjadi "kiblat" film animasi kita. Film-film yang tayang di televisi dan berbedar dalam bentuk kepingan VCD dan DVD kebanyakan dari negara-negara tersebut. Belakangan baru didapati film animasi cukup terkenal yang berasal dari negara tetangga, Malaysia. Di Indonesia, rasa-rasanya belum ada film animasi yang setenar film animasi produksi negara-negara tersebut. Bahkan, yang cukup disayangkan, film animasi yang mengangkat cerita rakyat yang begitu populer di Indonesia ternyata juga diproduksi negara lain.

Rusia adalah negara yang tidak kita perhitungkan dalam industri film animasi. Negara besar satu ini memang tidak "senarsis" rivalnya, Amerika. Kehadiran Masha and The Bear membuat publik Indonesia tersadar bahwa Rusia pun patut dipertimbangkan kontribusinya dalam dunia animasi. Ramadan yang suci ditingkahi semangat Masha merupakan sajian istimewa di tahun ini. Rusia yang pada banyak kesempatan disebut-sebut sebagai negara tak bertuhan ternyata mampu menyajikan sosok Masha dan Misha yang dalam banyak adegan justru selaras dengan ajaran agama.

Tokoh utama Masha adalah seorang anak kecil yang lincah, bersemangat, ceria, cerdas, dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Dia mewakili karakter manusia dengan ciri khas berambut pirang, berbola mata berwarna hijau, dan sering mengenakan kerudung merah jambu. Masha memiliki saudara kembar bernama Dasha.

Sumber: mashabear.com

Tokoh utama lain adalah Misha, seekor beruang besar mantan pemain sirkus hebat. Sebagai pemain sirkus hebat, dia memiliki banyak penghargaan dan piala. Setelah pensiun dari sirkus, Misha memilih tinggal di hutan dalam rumah yang dibangunnya. Di sekitar rumah, Misha membuka ladang pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidup. Beruang Misha adalah sosok yang bersih dan rapi. Hal ini sering bertentangan dengan ulah Masha. Masha yang masih anak-anak dan memiliki rasa ingin tahu besar sering membuatnya khawatir dan kerepotan apalagi beberapa kali Masha terbukti memporak-porandakan isi rumahnya.

Sebagai sosok yang bersih, rapi, dan suka pada ketenangan dan kedamaian, kehadiran Masha cukup mengganggu Misha. Menariknya, Misha tidak pernah marah kepada Masha. Dia benar-benar memperlakukan Masha sebagai anak kecil, mungkin lebih sabar dari orang tua pada umumnya. Di sinilah nilai pendidikan itu dibangun. Orang tua diajarkan untuk menyadari perkembangan anaknya dan senantiasa mewadahi perkembangan itu. Hal ini bukan perkara mudah bahkan mungkin hanya beruang Misha yang dapat melakukannya. Lebih dari itu, kita diajarkan tentang konsep ketahanan pangan, untuk memanfaatkan pekarangan dan berusaha memenuhi sendiri secara maksimal kebutuhan sehari-hari. Hal ini jauh lebih sehat dan murah dibadingkan kecenderungan masyarakat modern saat ini yang dalam hal pangan bergantung 100% pada pihak lain.

Berdasarkan catatan Wikipedia (id.wikipedia.org), tokoh lain yang hadir dalam film animasi ini adalah Sinterklas, Dipper, Kelinci, Serigala, Tupai, Landak, Panda, Harimau, Pinguin, Beruang Hitam Himalaya, Lebah, Kupu-kupu, dan Ulat. Tokoh-tokoh tersebut memiliki karakter khas yang membuat jalinan cerita menjadi hidup dan tidak membosankan.

Masih merujuk informasi Wikipedia, Masha and The Bear terdiri terdiri atas 44 episode yang di Indonesia penayangannya dibagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama episode 1--26, tahap kedua episode 27--35, dan (rencananya) tahap ketiga adalah episode 36--44. Saat tulisan ini dibuat, episode 36--44 belum ditayangkan.

Saya rasa, ini adalah film yang menyajikan kehidupan anak secara kompleks dan dapat diterima oleh berbagai jenjang usia, mulai anak-anak hingga para orang tua. Catatan khusus yang membuat animasi ini berbeda dengan film animasi pada umumnya--selain karakter Masha dan Misha---adalah cara berpakaian tokoh manusianya yang dalam "kacamata" orang Timur dianggap lebih pantas, khususnya untuk tokoh anak-anak.

Delisa

Aman 7/29/2014
Sabjan Badio

Delisa bukanlah nama asing bagi rakyat Indonesia, khususnya pecinta novel dan film. Nama ini memang tenar berkaitan kehadiran novel Hafalan Shalat Delisa karya Tere Liye--kemudian difilmkan dengan judul yang sama. Dalam novel tersebut tokoh Delisa gambarkan sebagai anak kebanyakan yang sangat suka akan hadiah. Motivasi Delisa menghafal bacaan shalat pun oleh karena bayangan hadiah yang akan didapatkannya. Sayang, tsunami datang sebelum Delisa selesai membuktikan hafalannya. Kalung dengan liontin berupa huruf D yang sudah hampir didapatkannya itu pun terbawa gelombang tsunami.

Kendatipun memiliki beberapa keistimewaan, Delisa tetaplah anak kecil. Tere Liye menyajikan Delisa sebagai anak kebanyakan yang dalam kesehariannya memiliki berbagai keinginan dan hobi yang tidak selamanya sesuai dengan pemikiran para orang tua. Delisa bahkan digambarkan sebagai penyuka sepak bola, yang bagi sebagian orang tua mungkin dianggap tidak pantas dimainkan oleh seorang anak perempuan.

Hempasan tsunami tidak hanya menjauhkan Delisa dari hadiah kalung berliontin D melainkan juga memisahkannya dari ibu dan saudara-saudaranya. Bahkan, tanpa adanya keajaiban pertolongan Tuhan, bisa jadi Delisa pun tidak dapat bertemu dengan ayahnya.

Pada perjalanan hidupnya, pandangan tokoh Delisa terhadap agama, kehidupan, keluarga, dan hadiah pun berkembang. Delisa menyadari bahwa dia harus meluruskan niat hafalan shalatnya, bukan lagi sekadar untuk mendapatkan hadiah dari seseorang. Perkembangan karakter Delisa ini juga terlihat ketika dia dengan halus menolak hadiah kalung berliontin huruf S yang diberikan seorang relawan asing bernama Shofie.

Delisa memang kehilangan orang-orang yang dicintainya. Walaupun begitu, Tuhan tetap menyediakan orang-orang yang mencintainya dengan tulus, mulai teman, para relawan asing, tetangga, dan terutama ayahnya. Sang ayah yang terbiasa hidup jauh darinya karena bekerja di sebuah perusahaan, merelakan diri pulang dan menghadiahkan hari-harinya untuk Delisa seorang.

Delisa adalah tokoh fiktif hasil rekaan Tere Liye. Pada kehidupan nyata, kita pun mengenal sosok Delisa Fitri Rahmadani yang ceritanya memiliki kemiripan dengan tokoh fiktif Tere Liye. Sama dengan Delisa, Delisa Fitri Rahmadani juga merupakan anak korban tsunami yang kehilangan satu kakinya akibat bencana tersebut.

Poster Film Delisa
Gambar: id.wikipedia.org
Delisa Fitri Rahmadani tidak sendiri, dia bersama anak-anak lain telah terpisah dengan keluarga tercintanya. Bencana merupakan ketentuan Tuhan yang mau tidak mau harus dihadapi dengan cara menjadi pribadi yang lebih baik. Bencana tidak hanya tsunami Aceh, di berbagai daerah di Indonesia dan berbagai belahan dunia lain juga terjadi bencana dengan berbagai rupa dan kadar. Bahkan, media massa dan media sosial pun bisa jadi dapat menjadi bencana di kemudian hari.

Akhir-akhir ini kita menemukan beberapa oknum wartawan secara serampangan menyajikan tulisan yang mereka klaim sebagai berita. Dikatakan klaim oleh karena sebelum disajikan tanpa melalui penelusuran yang menyeluruh, tanpa konfirmasi, dan tidak disajikan secara berimbang. Para pembaca pun dengan mudahnya terpropokasi dan menuliskan berbagai komentar propokatif bahkan menyajikan kebencian. Gayung bersambut, berita dibagi ke media sosial dan sumpah-serapah pun meluas.

Apa yang terjadi kemudian? Teman menjauh, persahabatan merenggang, dan persaudaraan pun retak. Media massa dan media sosial berubah wujud seolah menjadi ajang adu domba yang membuat kita kembali membayangkan era devide et impera. Apakah ini bukan bencana?

Kembali ke tokoh rekaan Delisa. Tere Liye menggambarkan hubungan Delisa dengan saudara-sudaranya tidak manis-manis saja. Pertengakaran, iri, cemburu, saling ejek merupakan kondisi yang mau tidak mau hadir di lingkungan Delisa. Hal-hal kecil pada berbagai kesempatan menjadi biang ejek-mengejek. Kepergiaan saudara-sudaranya menyisahkan kenangan manis yang semasa mereka hidup sering tidak dirasakan manisnya.

Delisa hanyalah tokoh fiktif rekaan Tere Liye. Kita yang hidup di dunia nyata hendaknya belajar dari berbagai fenomena yang ada, baik fenomena nyata maupun fiktif layaknya Delisa. Momentum Idul Fitri ini hendaknya dijadikan landasan untuk menjadi lebih baik, meluruhkan berbagai selisih dan syak wasangka untuk mebali menjalani kehidupan secara harmonis sembari bergandengan tangan. [Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1435 H].