Tampilkan postingan dengan label CERITA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label CERITA. Tampilkan semua postingan
Schistocerca gregaria

Schistocerca gregaria

Aman 3/01/2014
Siska Yuniati

Mbak Ul berteriak, minta tolong. Orang-orang berdatangan. Dua lelaki paruh baya langsung menggotong tubuh Ali. Ribut sejenak. Orang-orang menatapku… juga Mbak Ul, kemudian pergi, semuanya.

Aku tahu orang-orang itu pergi dengan kilatan benci. Kalau bukan sepupu Mbak Ul, entahlah, mungkin aku sudah menjadi sasaran kemarahan. Mereka pergi membopong Ali sembari menundukkan kepala dalam-dalam.

***

Gunungkidul, 2022.

Kuamati spesies di tanganku. Tubuhnya tak kurang dari lima centimeter. Ali baru saja memberikannya padaku.

"Enak Mbak… coba deh pasti Mbak Muna kepingin lagi."

Bergidik aku menatap belalang goreng itu. Sambil mengerjapkan mata, perlahan kumasukkan dalam mulut. Ragu-ragu, tapi… gurih!

Ali terkekeh.

"Dari mana kau dapat, Li?”

Bocah itu menunjuk ke bebukitan yang sering membuatku kagum atas keangkuhannya.

Kami menuju ke sana. Benar saja. Di antara ranting-ranting kayu yang kembali bertunas setelah dikeringkan kemarau, kudapati ratusan belalang menempel, berkelompok. Sesekali aku harus melindungi mata dari tabrakan dengan makhluk itu. Ali dengan lincahnya mengibas-ngibaskan tangan, berusaha menangkap beberapa ekor di antaranya.

Aku ingat, kalau tak salah itu adalah Shistocerca gregaria, belalang juta yang sering kudengar ceritanya. Oportunis terbesar dari serangga tersebut tercatat sebagai bencana kedelapan menurut riwayat Nabi Musa. Kawanan belalang juta mungkin telah menyerbu lebih dari 20% permukaan bumi dan secara langsung merugikan lebih dari 10% populasi dunia.

Dalam sejarahnya, belalang juta pernah membuat heboh pada tahun 1926-1934, 1940-1948, 1949-1963, 1967-1969, dan 1986-1989. Spesies itu pernah menyerang wilayah seluas 16-juta-kilometer-persegi, mencakup Gurun Sahara di Afrika Utara, Semenanjung Arab, dan ke baratlaut (India). Jika iklim mendukung, kawanan belalang juta dapat menyerbu ke utara hingga Sepanyol, Russia dan ke timur sehingga ke India dan Asia baratdaya, mengancam tidak kurang 60 negara. Kabarnya, satu kawanan belalang juta mampu menyerang 1,200 kilometer persegi dan setiap kilometer perseginya mencapai 40-80 juta belalang.

"Chk… chk.., atas kuasa Tuhan manusia bisa dikalahkan oleh makhluk-makhluk mungil ini.” Aku memerhatikan lincah Ali dengan aktivitasnya. Tanah berpasir. Namun, justru disenangi oleh belalang juta. Tanah-tanah berpasir ini akan memudahkan belalang menyimpan telur-telurnya.

"Ali…!” Bocah itu menoleh, kemudian memperlihatkan sekantong plastik belalang.

“Subhanallah!” teriakku.

“Banyak sekali, sejak kapan mereka muncul?” kataku sambil membekap jilbab yang menggelembung tertiup angin.

Ali mendekat. Kakinya lusuh, dan nafasnya turun naik tak teratur.

“Bha… ru.., kemarin… Mbak."

Benar saja, jenis belalang ini akan muncul di daerah subtropis awal-awal musim penghujan. Tapi, ini kan daerah tropis?!

Ali menarikku ketika kawanan yang lebih besar terbang rendah menuju ke pohon besar. Tiba-tiba suara dengungan raksasa menggetarkan udara. Aku tersengal berusaha menyusul Ali. Merundukkan badan saat rombongan lain tiba-tiba muncul. Beberapa dari mereka mengaburkan pandangan. Dan batu-batuan menghalangi langkahku. Ratusan… ribuan… jutaan…. Rok sedikit kuangkat, “Awwduuh….” Bruk! Jatuh, menggelinding begitu saja.

***

Aku menggeliat menahan nyeri. Beberapa kali orang keluar masuk pintu kamar. Aneh, pikirku. Hanya keseleo saja orang satu kampung berdatangan. Beberapa kali aku memaksa sudut bibirku untuk tersenyum. Capek meladeni mereka.

“Kok bisa tho Mbak?”

"Hati-hati lho Mbak, di sana memang sering terjadi kecelakaan.”

“Iya, kali aja ada yang nunggu.”

Aku nyengir. Tergelincir hal yang biasa terjadi, kenapa harus dihubung-hubungkan dengan yang lain? Tapi, ini menjadi masalah serius ketika beberapa orang tua meminta Mbak Ul membuat sesajen untuk diletakkan di tempatku jatuh. Aku menggeleng. Mbak Ul, mengerti dengan keinginanku.

"Nanti sajalah Pak, biarkan Muna menenangkan diri.” Aku mengerut.

"Tapi Mbak, kalau tidak segera, mungkin malapetaka ini bisa menular pada yang lain,” seorang bapak serius menatap kakiku.

“Begini Pak, adik saya ini kakinya masih sakit, tak mugkin untuk dibawa jalan, nanti saja kalau sudah mendingan,” sergah Mbak Ul.

"Iya Mbak, tapi… oh, atau biar kami yang membuat persiapannya, nanti Mbak berdua tinggal menjalani yang lain.”

“Menjalani apa Mbak,” tanyaku sesaat setelah lelaki itu pergi.

'Bukan apa-apa, gimana sakitnya? Mbak Ul meraba keningku.

“Badanmu panas Na!”

“Mbak, maksudnya tadi apa?”

Mbak Ul mengalihkan pandangan. Kudengar nafasnya berat terhempas.

"Yah, seperti inilah. Kepercayaan mereka begitu kuat. Mereka takut, ada yang tidak beres dengan sakitmu. Mereka ingin kita membuat sesajen tanda minta maaf, dan kau harus dibawa mengitari pohon besar yang tumbuh di sekitar tempatmu jatuh."

Hmmm. Aku muak mendengarnya. “Mbak Ul?” kataku menyelidik.

Mbak Ul menggeleng.

"Tak akan terjadi Na.”

Masih demikian jahilnya? Selama ini mungkin lingkungan kampus yang “seteril” tidak pernah membuatku berpikir untuk melihat kenyataan seperti ini. Aku sadar, ini sulit. Bahkan seorang sarjana seperti Mbak Ul tidak dapat berbuat banyak.

Aku dan Mbak Ul dikejutkan oleh beberapa orang lelaki yang tiba-tiba muncul di hadapan kami. Seseorang di antaranya membawa sebaskom air.

“Mbak, sebaiknya lukanya dibasuh dengan air ini. Ini kami dapatkan dari Mbah Jenggot, orang pintar di desa sebelah. Semoga, tidak akan terjadi apa-apa,” dengan sangat hati-hati lelaki itu meletakkan baskom di atas meja. Lelaki yang lain mengangguk.

"Benar Mbak, sebelum matahari tenggelam.”

Mbak Ul masih terdiam.

"Atau biar kami saja….” Berkata begitu, seorang lelaki kurus membawa baskom ke arahku.

“J-jangan, Pak,” aku berusaha bangkit. Mbak Ul tergopoh mendekat.

“Tolong Pak, biar… biar kami sendiri saja.”

“Iya Mbak, tapi cepat, matahari mulai hilang, jangan-jangan kasiatnya juga hilang,” agak marah bapak-bapak itu menatap kami.

“Iya-iya….” Mbak Ul terpaku.

"Na… biar Mbak oleskan sedikit ya?” Mbak Ul tampak gugup menyibak pergelangan kakiku yang tertutup selimut.

"Tidak! Jangan Mbak! Tak ingin sedikitpun aku terlibat dengan rangkaian ritual itu.”

Bingung campur takut membias dari wajah Mbak Ul. Sementara, kelima laki-laki itu masih menanti.

"Ayo Na, sedikit saja!”

"Mbak Ul, tidak!” aku kecewa. Kenapa Mbak Ul tidak bisa tegas. Aku tahu kadang mereka dapat berbuat nekat, tapi untuk satu hal ini aku harus bertahan.

"Muna!” Terkejut aku oleh bentakan Mbak Ul. Aku tegang menatapnya.

"JANGAN!” kugerakkan kakiku dengan kasar dan bukan salahku kalau baskom itu tumpah membasahi tempat tidur dan lantai. Dan… muka coklat kelima lelaki itu menghitam.

"Baik Mbak, terserah! Kami hanya ingin membantu. Kami tidak tanggung dengan apa yang akan terjadi. Kalau ada warga kami yang mendapat bencana lagi, berarti akibat dari kalian berdua!” Kemudian, mereka begitu saja meninggalkann kami.

Ruangan 16 meter persegi ini terasa menyempit. Dadaku sesak. Dan kakiku…. Astaghfirullah… belang-belalang itu?! Dan… ruangan semakin menyempit.

***

Mbak Ul menatapku kesal, “Kalau kau turuti sedikit saja yang mereka mau, tentu ini tak perlu terjadi. Kau tahu Na, kejadian seperti ini bukan sekali dua. Warga sering nekat, beringas, kalau keyakinan mereka terusik."

Aku diam. Apa Mbak Ul benar-benar marah? Tiga tahun tinggal di daerah ini apa sudah mengubah pola pikir Mbak Ul?

“Tuhan, kuatkan aku. Aku hanya ingin menyeru apa yang bisa kulakukan. Tapi, kalau sampai menimbulkan kemarahan Mbak Ul, apa mungkin caraku salah?”

Ada air mengambang di kelopak mataku. Seperti Shistocerca gregaria, aku menjadi kecil, apalagi dalam kesendirian ini. Belalang-belalang kecil yang dapat diburu, dipermainkan, menjadi santapan burung, atau mungkin dimakan manusia. Mbak Ul menatapku.

“Na, kau tak apa-apa?” Sunyi.

“Maafkan Mbak Ul.”

Mbak Ul benar. Seharusnya ini memang tidak perlu terjadi. Tentang kebodohan atau kesesatan itu. Tapi aku bisa merasakan ketertekanan Mbak Ul. Aku yakin, bukan maksud Mbak Ul untuk kasar padaku. Mbak Ul terlalu sayang untuk itu.

Coba ada Mas Ridho, paling tidak ada yang mendukungku. Mas Ridho tentu lebih dapat mengatasi kesulitan dengan kerileksannya.

“Mbak… mmm… kapan ya Mas Ridho pulang?” kucoba memecah kebekuan. Senyum Mbak Ul samar-samar terlihat.

“Kenapa, kau ingin pulang ya?”

Mas Ridho, suami Mbak Ul, bersama ayah dan ibu pergi ke Jakarta tiga hari yang lalu. Mereka menghadiri pernikahan seorang saudara. Karena itu pula aku sementara tinggal di rumah Mbak Ul.

“Kangen ya Na?” Aku senyum.

"Nggak Mbak, cuma… mau nggak ya, Mas Ridho memasarkan rempeyek belalang?” Mbak Ul melongo.

"Apa Na?”

“Itu Mbak, belalang… sebenarnya oke juga buat dikonsumsi. Kalau kreatif mengelola bisa dapat duit, lho.”

“Kau ini Na, ada-ada saja.”

"Eh, Mbak… berbagai jenis belalang banyak terdapat di daerah seperti ini. Lagi pula, belalang kan makanannya daun. Dalam daun, konsentrat proteinnya lumayan tinggi, siapa tau belalang bisa memperbaiki gizi.”

“Yee… yang anak biologi. Keluar deh spesiesnya.” Mbak Ul menowel pipiku.

“Tapi Na, mesti hati-hati memilih, belalang mana yang akan dikonsumsi. Kalau yang punggungnya berwarna merah, biasanya mengandung racun. Bisa-bisa tidak dapat untung tapi buntung.”

Aku tersenyum mendengar penjelasan Mbak Ul. Aku tahu betul, yang namanya belalang, semuanya bisa dimakan.

***

Langit memerah, pertanda hari segera bertukar. Kejadian sehari ini cukup membuatku merenung. Terbersit juga perasaan was-was akan apa yang bakal menimpa keluarga Mbak Ul. Memang, orang-orang di kampung ini suka saling tolong, namun urusan kepercayaan yang terusik, aku tidak yakin apakah mereka masih mempunyai keramahan.

Kehadiran belalang-belalang yang hidup mengelompok itu membuatku semakin khawatir. Tidak ada yang bisa menjamin kalau mereka tidak menghubungkan belalang-belalang itu dengan kemarahan Si Penunggu Pohon. Belalang-belalang itu… Schistocerca gregaria… kepalau terasa pening….

“Mbak Ul… Schis….”

“Mbak Muna!” Aku terlonjak. Kepala Ali menyembul dari balik pintu. Bocah tujuh tahun itu menenteng seplastik belalang goreng.

"Masih sakit Mbak?”

"Ndak… udah sembuh kok, cuma butuh istirahat sebentar.”

“Ali bawa apa?” Mbak Ul yang juga baru masuk menarik kantong plastik dari genggaman Ali.

“Bude mau?” Mbak Ul tertawa melirikku. Ali berceloteh macam-macam. Teman kecilku itu memang ceriwis. Lumayan, cukup membuat lupa akan bengkak kakiku.

Tiba-tiba…. Kulihat bintik-bintik merah di tanganya, “Kau kenapa Li? Banyak sekali…!”

Ali membalikkan lengan. Kemudian, wajahnya memucat.

“Mbak.…” Ali memegangi lambungnya. Sesaat tubuhnya oleng. Aku dan Mbak Ul tergagap dengan perubahan yang tiba-tiba itu.

"Ali… Ali… Kau? Astaghfirullah …. walang gambus!

”Kepalaku pusing….” Ali meringis tak tentu. Tubuhnya sempoyongan… ambruk di depan pintu.

***
Keajaiban itu Bernama Azizah

Keajaiban itu Bernama Azizah

Aman 4/10/2012
Siska Yuniati

Azizah, putri ketigaku, lahir dengan pendarahan. Kepanikan menyeruak di antara aku, suamiku, juga petugas medis.

“Masih ada detak jantungnya,” bidan mengabarkan.

“HPL kapan, Bu?”

“Se-bu-lan la-gi,” terbata kusahut. Perutku ngilu. Darah menggenang di atas dipan.

“Sakit!” Suamiku menatapku iba. Tangannya sibuk mengelap peluh di keningku.

“Dokter jaga berhalangan. Dakter lain sudah kami hubungi, namun belum datang.”

Aku bergeming. Perutku serasa diaduk-aduk. Satu jam sudah kontraksi menyergapku.

“Sabar...” anjuran suamiku.

Para bidan sigap menginjeksi, memasang alat bantu pernapasan, serta mengelap rembesan darah. Dokter belum datang. Sakit tak terbendung. Darah melimpah. Desakan kuat. Kontraksi memuncak. Berikutnya aku mendengar tangis anakku.

“Allah…, lahir selamat dengan plasenta sudah hancur,” lirih suara bidan.***
Dipublikasikan pada Dalam Gengaman Tangan Tuhan (WR Publishing, 2012).
Cincin Bermata Hijau

Cincin Bermata Hijau

Aman 12/13/2011
Siska Yuniati

Sosok Mbah Kakung tidak akan lepas dari cincin bermata hijau. Cincin dengan kuning keemasan berpadu dengan warna hijau di pusatnya. Seperti sinar matahari pagi yang menyepuh hamparan rumputan. Perpaduan warna alam, begitu sempurna, anggun, dan memberi kesan berkelas. Kami sekeluarga tidak tahu ihwal cincin itu. Menurut Ibu, cincin itu sudah ada sebelum ibu lahir. Simbah juga tidak pernah bercerita bagaimana cincin itu sampai berada di tangannya. Dulu, semasa Simbah Putri masih hidup, Ibu pernah bertanya. Namun juga tidak ada jawaban. Sepertinya kedua Simbahku sudah bersepakat tentang hal itu. Jadilah cerita cincin itu terbungkus rapi dalam kehidupan Simbah.

Ibu berpesan kepadaku untuk tidak menanyakan cincin itu kepada Simbah. Selain tidak ada gunanya, Ibu tidak ingin membuat Simbah tersinggung. Ibu tahu betul betapa aku sering memaksa jawaban atas segala pertanyaan yang kuajukan. Simbah sudah sepuh, sayang kalau harus resah dengan lontaran tanyaku. Untuk kali ini aku mengalah. Aku sendiri tahu cincin itu karena seringnya melihat Simbah mengelap cincin itu. Simbah akan  menimang kemudian menerawangnya. Begitulah sejak aku kanak-kanak hingga sekarang kelas dua SMU, Simbah tidak pernah bosan memperhatikan cincin itu. Ada kalanya Simbah menyorotkan lampu senter pada bagian mata cincin, lantas buru-buru melihatnya dengan kaca pembesar.

"Asli!" kira-kira itu yang dilontarkan Simbah.

"Asli. Ini asli zamrut. Tidak ada gelembung udara bundar-bundar di batu ini. Dan lihatlah warna hijau tuanya, benar-benar perlambang keberuntungan."

Ibu hanya geleng-geleng menyaksikan kelakuan Simbah. Ibu mengerti tidak begitu cara memeriksa keaslian zamrut. Harus dengan senter khusus, yang biasa digunakan di toko-toko perhiasan. Tapi Simbah tetap ngotot bahwa itu zamrut asli, zamrut pembawa  keberuntungan. Barangkali itu alasan Simbah begitu istimewa memperlakukan cincinnya. Biarpun begitu, Simbah tidak pernah melingkarkan cincin itu pada jemarinya. Simbah hanya menyimpannya di sebuah kotak kayu setelah sebelumnya dibungkus dengan kain putih. Kotak kayu itu pun ditutup rapat dan dimasukkan dalam laci almari yang juga tertutup rapat. Iseng aku usulkan untuk menjualnya. Siapa tahu kalau memang zamrut asli, tentulah bernilai jual tinggi.

"Hus, tahu apa kau ini. Tak ada yang dapat menukarnya, biarpun satu karung rupiah teronggok di depan mata!!"

Simbah tidak murka, hanya menatapku tajam, sebagaimana tatapan seorang komandan yang geram pada anak buahnya. Dan aku anak buah yang dungu kalau tidak juga paham bahwa betapa cincin itu sangat berharga, setidaknya bagi Simbah.

Suatu kali dalam temaram. Malam dingin menggingit. Aku masih memijit kali Simbah. Wajah tirus Simbah demikian menyita perhatianku. Garis-garis wajahnya, lengkung bibir yang datar, kantung mata  menebal, cukuplah mengabarkan padaku telah banyak episode yang pernah dimainkan SimbahSimbahku, berpuluh tahun lalu adalah prajurit gagah yang tidak akan menyurutkan langkah kendati musuh berdiri pongah. Mempertahankan setiap jengkal tanah adalah amanah. Dan sifat amanah itu pula yang sering kali diwejangkan padaku.

"Budi, kau kembalikanlah pada yang punya," lirih Simbah berujar. Matanya terpejam dan napasnya turun naik. Sungguh sebuah keajaiban. Tiba-tiba Simbah memberikan cicin bermata hijau itu padaku.

"Kembalikan pada siapa Mbah?" kataku menyelidik. Aku diliputi perasaan ingin tahu yang begitu menggebu. Tentang cicin itu dan masa lalu Simbah. Pertanyaan yang belum pernah kudapatkan jawabannya.

"Cincin itu milik Suster Alin."

"Suster Alin?" Otomatis keningku mengerut. Nama yang begitu asing, jika ditilik dari 85 tahun usia Simbah. Orang Cina kah? Atau seorang Suster di sebuah rumah sakit yang pernah dikunjungi Simbah?

"Simbah kenal di mana?"

"Ganjuran, Rumah Sakit Elisabeth"

Lagi-lagi aku terperanggah. Rumah Sakit Elisabeth, sebuah rumah sakit yang menurutku kurang strategis untuk kami kunjungi. Rumah kami terletak di pusat Kota Bantul, dekat dengan sebuah rumah sakit pemerintah dan beberapa rumah sakit swasta. Kalau sampai singgah di Rumah Sakit Elisabeth tentulah butuh waktu yang panjang. Entah bagiSimbah. Setahuku Simbah juga tidak pernah berobat ke sana.

Menurut cerita Simbah, Suster Alin adalah seorang Belanda yang ditugaskan di Indonesia. Ia bekerja di rumah sakit Elisabet di Ganjuran. Perkenalan Simbah dengan Suster Alin lebih disebabkan karena kondisi perang. Aksi polisionis Belanda pada Desember 1948 membuat TNI harus terus melakukan perlawanan pada Belanda di mana pun itu. Demikian pula Simbah yang tergabung dalam Batalyon Sardjono yang bermarkas di Bantul beberapa kali melakukan penyerangan. Pada suatu penyerangan, Simbah terluka. Sebuah peluru membobol perut SimbahSimbah berusaha menyelamatkan diri dengan berlari menuju rumah sakit terdekat. Suster Alin yang pertama sekali melihat kedatanganSimbah segera menyembunyikan Simbah dalam sebuah kamar gelap di rumah sakit. Suster Alin sudah terbiasa dengan kelakuan serdadu Belanda. Mereka akan terus mengikuti ceceran darah hingga memastikan bahwa tentara yang mereka incar telah mati.

"Stoppen! Ini rumah sakit, tidak ada aturan bawa-bawa senjata. Afslag!!" Suster Alin mengusir serdadu Belanda.

Sepuluh hari Simbah dalam perawatan Suster Alin sampai terdengar kabar bahwa dusun tempat tinggal Simbah dibakar Belanda. Simbah pun memaksa keluar dari rumah sakit. Suster Alin melarang. Simbah terus memaksa, dengan alasan seluruh keluarga ada di dusun itu, termasuk Murti (Simbah Putri) gadis yang akan dinikahi Simbah. Dengan berat hati Suster Alin melepas Simbah. Diberikannya cincin bermata hijau pada Simbah, dengan keyakinan cicin itu akan membawa keberuntungan. Simbah berjanji akan mengembalikan cicin itu begitu keadaan aman. Sayang, ketika Simbahmencari Suster Alin di rumah sakit Elisabeth setelah Serangan Umum 1 Maret 1949, Suster Alin telah kembali ke negerinya bersama tentara dan orang Belanda lainnya.

***

Pulang sekolah aku menelusuri Jalan Bantul dengan Supra X pabrikan 2001. Mengarah ke Selatan, angin semakin keras. Lalu lintas tidak begitu padat, tidak pula sepi. Kendaraan bermotor masih berseliweran. Beberapa mobil yang menyalipku berplat nomor luar kota. Barangkali mereka akan mengunjungi Pantai Samas.  Selanjutnya bus-bus kecil jurusan Pantai Samas bersahutan membunyikan klaksonnya, membuatku beberapa kali harus merapat ke tepian. Begitu mendahuluiku, kepulan asap sisa pembakaran tanpa ampun memasuki aliran pernapasanku. Buru-buru aku membekap mulut dan hidungku, agaknya slayer yang melilit sebagian wajahku belum mampu menahan serangan ini.

Aku belum tahu pasti di mana letak rumah sakit St. Elisabeth. Setahuku, dari arah kota Bantul, belok kiri. Tepat pada sebuah jalan aspal dengan jajaran Polyalthia Longifolia Pendula, pohon glodokan tiang yang menjulang di kiri kanan jalan. Tidak ada jalan lain yang desainnya seperti itu. Seolah memasuki sebuah lorong hijau, terapit hamparan sawah yang menghijau pula. Sinar senja berwarna keemasan, membentuk tombak-tombak panjang, mengantarkanku pada sebuah petualangan.

Petualangan mencari Suster Alin. Padahal menurut logikaku, aku juga meragukan keberhasilanku. Rencanaku, aku akan mencari jejak Suster Alin lewat arsip yang ada di rumah sakit. Kalau sudah dapat alamatnya, maka akan kutulis surat. Kalau ada respons, maka akan kukembalikan cicin bermata hijau, entah kepada Suster Alin atau anaknya, atau pada cucunya.

Pencarian ini layaknya kegiatan spionase. Diam-diam dan sangat hati-hati. Kepergianku pun tidak kukabarkan pada Ibu. Barangkali dikiranya aku masih ada kegiatan di sekolah, seperti yang sudah-sudah. Aku sudah berjanji padaSimbah untuk menyimpan kisah cincin bermata hijau. Dan aku sudah berjanji untuk menunaikan keinginan Simbah, mengembalikan cincin itu. Sejak membuka cerita cicin bermata hijau, Simbah pun menjadi lebih pendiam. Simbah lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam kamar. Kalau tidak mendaras Al-quran, beliau akan berbaring di atas dipan. Setiap kali aku mendekat, Simbah akan tersenyum. Aku tidak dapat menafsirkan senyuman Simbah, namun senyum itulah yang melecutku untuk menguber Suster Alin.

Tiba di depan Rumah Sakit Elisabeth, aku tertegun. Baru pertama kali aku di tempat ini. Seperti rumah sakit pada umumnya, bangunan kokoh dan bersih. Sebuah mobil ambulans terparkir di halaman. Tidak ada kesan kuno seperti bayanganku. Beberapa orang keluar masuk rumah sakit, beberapa di antaranya perempuan dengan seragam putih-putih, kutaksir mereka adalah perawat di sini. Aku bingung harus ke mana, menilik seragam putih abu yang kukenakan, pastilah orang segera mengenaliku sebagai seorang pelajar. Ditambah, identitas sekolah yang melekat di bajuku, semua dapat mengerti aku siswa SMU mana.

Sebenarnya, aku ingin melihat pabrik gula seperti yang pernah diceritakan Simbah. Ingin melihat rumah loji milik keluarga Schmutzer, ingin melihat garasi yang pernah digunakan sebagai poliklinik, ingin melihat candi suci. Akan tetapi keinginan itu kuurungkan. Seorang perawat tersenyum ramah, dan menanyaiku.

"Maaf, bisa saya bantu?" katanya renyah. Inilah buah dari kebingunganku. Aku hanya berdiri di sudut halaman tanpa berbuat sesuatu. Tentu saja di halaman yang tidak begitu luas ini, kehadiranku akan menyita perhatian.

"E...e... saya ingin bertemu Suster Alin," jawabku begitu saja.

"Suster Alin?" perawat itu balas bertanya.

"Eh, maaf, informasi rumah sakit."

"Informasi rumah sakit?"

Sudah kuduga, perawat itu tidak siap dengan jawabanku.

"Maksudnya? Sejarah rumah sakit ini?"

"Ya,.. barangkali seperti itu," aku menjawab ragu.

"Kalau itu bisa bertanya di pasturan," perawat menunjuk bangunan gereja yang tidak jauh dari rumah sakit. Kini aku semakin ragu. Nyaliku menjadi ciut. Tidak ada yang kukenal, aku juga tidak tahu bagaimana memulai cerita cincin bermata hijau.

"Buat riset ya? Biasanya pastur akan membantu, tapi beliau akan datang besok sore. Coba saja datang."

Aku mengangguk dan berbasa-basi mengucapkan terima kasih, kemudian meninggalkan halaman rumah sakit.

Limbung. Aku kecewa dengan diriku. Sampai di sini tidak ada hasil. Bagaimana aku akan mengembalikan cincin itu, jika jejak Suster Alin tidak aku temukan. Aku termangu di sebuah bangku di bawah pohon glodokan tiang. Daunnya yang ramping memang tidak cukup memberiku rasa teduh, namun setidaknya aku masih dapat melepas penat, sambil berharap ada ide jitu terlintas.

"Maaf, apa Anda akan mencari informasi rumah sakit ini?" lembut, suara seorang perempuan tinggi membuyarkan lamunanku. Dilihat dari pastur, warna kulit, bentuk hidung, dan matanya dia bukan orang Indonesia.

"Upss," aku buru-buru mengalihkan perhatian.

"Ik dengar Anda ingin tahu tentang rumah sakit ini. Barangkali saya bisa membantu," tanpa kuminta perempuan itu duduk di ujung lain dari bangku yang kududuki.

"Rumah sakit ini, seperti cerita yang berkembang didirikan oleh Julius Schmutzer bersama istrinya Caroline van Rijkevorsel. Mereka juga pemilik pabrik gula Gondanglipura. Pabrik gula itulah yang menopang biaya rumah sakit, karena waktu itu tujuannya untuk menolong masyarakat sekitar agar mendapatkan pelayanan kesehatan."

Aku menyimak cerita itu dalam diam.

"Oh, ya, kenalkan Ik, Maria. Perawat juga. Cerita tentang keluarga Schmutzer dan rumah sakit ini begitu populer bagi kami para perawat Belanda. Makanya kadang masih ada perawat Belanda yang datang kemari.".

Aku mulai berpikir untuk mengajukan pertanyaan.

"Em mm..."

"Maria, panggil seperti itu," jawabnya tangkas.

"Maria, sudah lama di Indonesia," pertanyaan yang biasa.

"Ya, .. setidaknya bisa membuatku lancar berbahasa Indonesia."

"Kalau begitu tahu kira-kira siapa saja perawat Belanda yang pernah bertugas di sini?"

Maria terdiam beberapa saat.

"Banyak. Siapa yang Anda cari?"

"Suster Alin. Barangkali ada di arsip yang di simpan di pasturan?"

Maria tersenyum.

"Tidak akan Anda temukan. Di arsip hanya akan tersebut empat orang Suster yang mula-mula datang ke rumah sakit ini. Tertanggal 4 April 1930. Mereka adalah Sr. Yudith De Laat, Sr. Ignatia Lemmens, Sr. Simona, dan Rudolpha De Broot. Mereka inilah yang mengurus rumah sakit sekembalinya keluarga Schmutzer ke Belanda."

"Mm... sulit juga ya. Kalau cincin ini, ada yang tahu tidak ya?" Perlahan aku mengeluarga kotak kayu dari dalam ranselku. Kuambil bungkusan kain putih dari dalam kotak. Sebentar, cincin bermata hijau menyembul berkilauan cermerlang.

"Boleh Ik pegang?"

Takzim kuserahkan cincin itu pada Maria. Pada saat bersamaan kurasakan bumi bergetar. Angin bertiup kencang. Tubuhku menjadi oleng, seperti tersapu gelombang besar. Belum aku menguasai kesadaranku, handphoneku berdering. Gemetar aku berusaha mengambil handphone dari dalam saku bajuku. Sebuah pesan masuk. Ibu memintaku pulang.

Perasaanku bergejolak. Hari hampir Magrib, dan aku teringat SimbahSimbah selalu berpesan untuk salat tepat waktu, siapa tahu ajal menjemput. Bayangan Simbah berkelebat. Aku semakin tidak karuan. Simbah akhir-akhir ini sering mengeluh lelah. Pikiran tidak-tidak merajaiku. Ada rasa sedih menggelayut. Aku dilanda takut. Aku segera memacu motorku dengan kecepatan tinggi. Dada ini menggelegak seiring bertalunya suara azan.

***

Aku terpaku di depan jenazah Simbah. Seluruh tubuhnya telah ditutup jarik.Tidak ada yang dapat kukatakan. Aku datang ketika beberapa tetangga telah berkumpul mempersiapakan segala sesuatunya.

"Dari mana saja kau Budi?" pertanyaaan Ibu menghujam tepat ke ulu hati. Aku tidak dapat memberikan jawaban.

"Kata Simbah kau telah bertemu dengan Suster Maria Caroline?"

Aku terperanggah. Tiba-tiba lututku begitu lemah, tulang-tulang berlolosan. Cincin bermata hijau dan Suster Alin. Ah, aku ambruk.***
Dikutip dari kumpulan cerpen Melodi Cinta Putih Abu-abu (Leutikaprio, 2011).


Bulan Depan

Bulan Depan

Aman 11/22/2011
Sabjan Badio

Langit malam ini begitu gelap, tanpa bintang. Desau angin merasuk ke celah jaketku. Kubayangkan di rumah nanti aku akan segera meringkuk di pembaringan, melepas penat dan segala gundah. Atau, setidaknya aku bisa bermain sebentar dengan sulungku yang belum satu tahun. Istriku, ah, ia mulai mual-mual dan nafsu makannya kian bertambah. Lelah wajahnya, senantiasa berkelebat dalam benakku. Aku semakin sering meninggalkannya.

Hari ini aku kembali pulang malam. Ada tugas yang harus segera aku selesaikan, buku-buku yang lusa harus sudah cetak. Ada dua hal yang aku pikirkan setiap kali lembur. Pertama, masalah tanggung jawab. Kedua, aku akan dapat tambahan gaji. Sayangnya itu belum seberapa jika menengok utang yang harus aku bayarkan bulan depan. Bulan berikutnya, aku sudah berjanji pada sahabatku untuk mengembalikan pinjaman tiga bulan yang lalu. Hal itu tidak mungkin aku undur, mengingat betapa baiknya dia, dan lagi bulan depan memang uang itu akan digunakan. Ah, bulan depan, jangan dibayangkan itu masih tiga puluh hari. Bulan depan sama saja pekan depan lantaran ini sudah di akhir penanggalan, dan pekan depan itu artinya tujuh hari lagi.

Kumatikan mesin sepeda motor. Istriku tersenyum menyambutku, membawakan bawaanku, serta melepaskan jaketku.

“Adik sudah tidur,” katanya memberi tahu. Aku pandangi wajah sulungku. Bayi laki-laki yang menggemaskan. Tidurnya tenang. Andai aku dapat tidur seperti dirinya. Kurebahkan tubuhku di samping bayiku. Makan dan minum yang ditawarkan istriku tidak juga aku sentuh. Kutatap langit-langit kamar. Kosong. Hanya pendar lampu Philips yang mulai meredup. Kutaksirkan puluhan jam lagi akan genap seribu jam, setelahnya minta ganti. Dua ekor cicak berkejaran. Satu dari yang lain berhasil menangkap temannya, menggigit lehernya, dan mereka saling menyatu. Kepak ekor keduanya membentur eternit, terdiam beberapa saat lalu dalam gerakan cepat, lari bersembunyi. Adegan itu cukup membuatku tersenyum. Mereka enak, tidak punya malu. Tidak memikirkan ada makhluk lain yang bergelut dengan utang yang segera ditunaikan. Lebih aneh lagi, makhluk itu adalah aku.

“Kenapa Dang? Capek?” sapa istriku. Aku masih terdiam. Rasanya tak layak untuk membicarakan masalah ini. Betapa lamanya dia menanti kepulanganku. Kalau tiba-tiba aku menyelipkan masalah ini di antara senyumnya, mungkinkah senyum itu tidak akan hilang.

“Dang memikirkan masalah utang itu ya?” Tentu saja istriku akan cepat sekali membaca pikiranku. Akhir-akhir ini topik diskusi kami tidak jauh dari masalah itu.

“Tidak perlu risau,bulan depan ada tambahan uang lembur. Gaji Dang ditambah gajiku, tentulah cukup untuk melunasi utang,” sanggah istriku.

“Lantas, buat makan?” aku mulai gusar.

“Nanti juga ada, sabar saja.” Aku kembali diam. Terus terang aku ingin yang pasti-pasti. Bisa saja kami makan nasi lauk garam, tapi apa aku tega memberi makan keluargaku seperti itu? Tenggelam dalam pikiranku. Agaknya, istriku tidak berani melanjutkan pembicaraan.

“Kalau cari utangan lain, bagaimana?” suaraku memecah hening.

“Siapa?”

“Temanmu.”

“Rasanya tidak ada.”

Kami kembali hanyut dalam angan masing-masing. Rasanya semua menjadi buntu, dan tubuhku bertambah-tambah penat.

“Ya… kalau tidak semua, ya separuh tidak mengapa. Bulan depan aku kembalikan… O… begitu, ya… ya… tidak apa-apa. Maaf merepotkan. Ya… ya… Assalamu’alaikum.” Klik. Istriku, menutup mukanya.

“Dik…,” aku heran dengan tingkahnya.

“Tuh… kan apa kubilang,” kata istriku.

“Ada apa?” aku belum mengerti arah pembicaraannya.

“Temanku tidak mau meminjami uang. Katanya uang yang ada sudah dimasukkan rekening semua. Ia tidak berani mengambil, katanya untuk masa depan. Lain kali aku tidak mau pinjam padanya. Malu aku.” Istriku mengakhiri penjelasannya.

“Astaghfirullah,” batinku. Rupanya istriku menelpon temannya untuk mencari pinjaman. Setahuku ia tidak pernah meminjam barang-barang, terlebih uang kepada orang lain. Bisa kubayangkan betapa ia sangat terpaksa untuk melakukannya. Kupandangi wajah istriku. Tidak ada yang bisa kulakukan untuk menentramkannya selain genggaman erat jemariku.

Dini hari aku terbangun. Tubuhku demam. Duh, apalagi ini. Pikiranku sangat kacau. Bukannya seharusnya aku bangkit dan menyongsong rezeki, ini malah badan tidak enak, pusing, dan lemah. Istriku mengoleskan balsem di punggung dan perutku.

“Hati-hati kalau pulang malam. Mungkin dang masuk angin.”

Sedikit sakitku berkurang, namun saat siang hari, sakit itu kembali menyerang. Istriku pulang lebih awal dari biasanya. Tampaknya ia mulai panik.

“Ke dokter ya?”

Aku menggeleng.

“Sebentar juga sembuh,” istriku menawarkan banyak makanan, namun aku sama sekali tidak berselera. Perutku mual dan merasa tidak lapar. Begitu hingga hari ketiga berlalu. Tidak ada perubahan, dan aku tetap tidak mau dibawa ke dokter.

Entah apa yang ada dalam pikiran istriku. Hari itu ia ngotot membawaku ke rumah sakit.

“Kalau sakit, siapa yang susah. Aku, anak….” Aku tidak mau mendebat istriku. Emosinya bisa saja naik tiba-tiba, ditambah keluhannya yang masih merasa mual-mual. Akhirnya aku berada di ruang emergency. Vonis yang jatuh padaku: DB. Harus opname. Butuh enam kantung darah. Istriku, mula-mula yang aku bayangkan. Betapa ia menjadi sibuk, antara bekerja, mengasuh anak, mengurusi kehamilannya, ditambah lagi mengurusi diriku. Benar-benar keadaan yang tidak mengenakkan.

“Kemana aku mencari golongan darah seperti punya Dang? Keluargaku golongan darahnya tidak ada yang sama. Keluarga Dang, tidak ada yang tinggal di sini. Di PMI baru ada satu kantung….” Aku tercekat. Mengapa istriku harus segusar itu.

“Teman-temanku sudah kuhubungi. Semua tidak ada yang cocok. Dua yang ada, berat badan tidak mencukupi, satu lagi berat badan cukup, namun sedang flu.” Hampir setiap waktu istriku memberi laporan. Entah sudah berapa puluh ribu pulsa yang ia habiskan sekadar mencari tahu siapa yang bisa menjadi donor. Megetahui golongan darah teman-teman tidak lagi hal sepele. Terkadang, saat berkenalan dengan orang tidak terbayang dalam otak kita untuk tahu golongan darahnya, apalagi berusaha mencatatnya. Allah, aku benar-benar pasrah. Pada hari kedua, istriku berhasil mengumpulkan enam kantung darah. Lima pendonor yang rela berbagi darah untukku, padahal saat itu Ramadan telah tiba. Dari lima orang tersebut, hanya satu orang yang kami kenal baik, selebihnya kami tidak tahu. Katanya temannya si A, si B. Aku terharu, tidak tahu harus membalasnya dengan apa, karena selepas mendonorkan darahnya mereka terus pulang. Tidak sempat kami bertanya tentang nama dan alamat mereka. Semoga Allah yang akan mengganti kebaikan mereka.

Kondisiku mulai membaik. Istriku, meski lelah, masih sempat membawa sulungku ke rumah sakit. Sebentar memang, namun itu cukup mengobati rasa bersalahku karena tidak jadi mengajaknya jalan-jalan saat usianya genap satu tahun.

“Tidak apa-apa Dang. Kata yang ngasuh, ia tidak rewel. Dang ikuti petunjuk dokter biar cepat pulih, terus pulang.”

“Terus…. utang kita?” pertanyaanku tidak mengada-ada. Ini sudah awal bulan.

“Stt… aku cari pinjaman pada temanku.”

“Temanmu mau meminjami?”

“Ini lain orang. Sebenarnya ia tidak punya, namun ia berjanji akan mencarikan pinjaman di koperasi. Kira-kira tanggal sepuluh uangnya akan diantar.”

“Pinjam koperasi?” tanyaku.

“Iya Dang, ia yang nyicil. Kita tinggal bayar ke dia.”

“Merepotkan,” gumamku.

“Iya, tapi katanya ia ikhlas, malah senang dapat membantu.” Istriku tidak malu menceritakannya padaku. Barangkali orang ini benar-benar ingin membantu.

“Tapi, biaya rumah sakit bagaimana?” Sebenarnya aku tidak tega mengatkannya pada istriku. Benar saja, istriku termangu. Tanpa pikir panjang, aku meraih telepon genggam dan menghubungi adikku di Bengkulu. Padanya kuminta untuk segera mengirimkan uang buat biaya rumah sakit. Kalau kondisi biasa, aku tidak mau berbuat demikian, namun saat ini aku benar-benar butuh uang. Apalagi dokter sudah mengatakan bahwa esok aku sudah boleh pulang.

Di depan kasir, tubuh istriku merapat ke arahku. Biaya opname selama delapan hari cukup besar. Di saat itulah pertolongan Allah datang. Ternyata, seluruh biaya rumah sakit ditanggung PT Askes. Aku menerima kuitansi pembayaran dengan nilai nol rupiah.

Di rumah, istriku berseloroh.

“Logika Tuhan berbeda dengan logika manusia.”

Aku tidak menyahut, namun memang begitu adanya. Selama di rumah sakit, banyak kerabat dan kawan yang menjenguk. Banyak di antara mereka yang menyelipkan amplop saat bersalaman pulang. Kantor tempat kami bekerja pun ikut mengulurkan perhatiannya. Setelah dihitung, uang yang terkumpul sejumlah sama dengan utang yang harus kami bayar. Istriku tidak jadi mengambil pinjaman dari temannya. Uang dari adikku juga aku kembalikan. Rupanya, sakitku adalah jalan dari Allah untuk menyelesaikan urusanku.

“Dang, andai temanku dulu mau meminjamkan uangnya, pasti juga sudah kita kembalikan ya?”

“Temanmu yang mana?”

“Itu lho… yang beralasan uangnya disimpan di bank, yang ia tidak berani mengambilnya.”

“Hush… sudah, tidak perlu diingat,” kataku.

“Iya… aku juga tidak lagi kecewa. Masalahnya, dia itu punya uang, terus pada teman sendiri tidak mau meminjamkan, padahal aku sudah berjanji bulan depan akan mengembalikan, masih saja tidak mau meminjamkan. Lha, temanku yang satunya lagi. Tidak punya duit, justru ngotot mau ngasih pinjaman, sampai harus utang koperasi di tempatnya bekerja. Padahal dibalik itu, Allah sendiri yang menyelesaikan urusan kita.”

“Stt”… ,” sanggahku lagi.

“Gini lho, Dang, imbasnya kan beda. Pada teman yang mau menolong, kita setulus hati mendoakan kebaikannya. Lagi pula, kalau ada orang yang minta tolong, sebenarnya itu kesempatan kita untuk berbuat baik. Tidak tiap hari kesempatan itu hadir.”

“Iya, iya… istriku cantik. Dan selama aku sakit, itu juga kesempatan dirimu untuk berbuat baik kan? Merawat suami dan mendoakan kesembuhannya.”

Istriku tersipu. Kuelus perutnya. Dari lubang angin kulihat langit bertabur bintang. Indah sekali. Dan Allah tidak pernah alpa dengan ciptaannya, dialah Rab Sang Pemelihara.***

Dang sama dengan kakak atau mas, di antaranya digunakan oleh penduduk yang berasal dari Provinsi Bengkulu dan sekitarnya.
Tulisan ini menjadi satu di antara pemenang lomba menulis blog "Berbagi Kisah Sejati" yang diselenggarakan oleh anazkia.blogspot.com (2010). Mei 2011, tulisan ini bersama 24 tulisan lain, telah diterbitkan dalam antologi bersama Blogger Berbagi Kisah Sejati (Indiepro Publishing, 2011).
Bercengkerama Senja di Stasiun Bantul

Bercengkerama Senja di Stasiun Bantul

Aman 10/22/2011
Siska Yuniati
Seorang lelaki masuk ke pekarangan rumahku begitu pagar kubuka. Lelaki dengan topi dan jaket itu tersenyum. Aku membalas senyumnya kemudian menerima selembar amplop dari tangannya.
“Ibu Rosita?”
“Ya, benar.”
Lelaki itu mengulurkan sebuah amplop dan lembaran kertas kepadaku, “Maaf Bu, tolong tanda tangani bukti penerimaan ini.”
Aku pun menggoreskan tinta pulpen pada kertas itu. Pulpen yang aku pinjam dari lelaki itu juga. Ah, betapa baiknya dia.
“Terima kasih Bu.”
Aku mengangguk. O, o, o… dunia menjadi cerah di langit hati. Anyelir dan mawar yang berderet di kiri-kanan teras rumah juga menjadi lebih beraroma dan memabukkan mata.
Sebuah surat dari Johana, sahabat lamaku. Surat yang dikirim dengan jasa perusahaan pengiriman. Bagiku itu sangat istimewa untuk perempuan seusiaku. Usia 60 tahun dengan kulit yang berkerut-kerut dan kaca mata yang sering mlorot di ujung hidung. Lebih parah lagi kalau aku lupa menaruh kaca mata itu, kemudian melontarkan pertanyaan kepada suamiku.
Pakne, lihat kaca mataku?”
Suamiku yang tak kalah tua dariku menggeleng. Lantas aku celingukan sebentar, kemudian menata tanaman. “Ah, nanti juga ketemu.” Benar saja, pada hari yang sama aku menemukan kaca mataku tergeletak di atas meja makan. Tentu saja, karena kami tinggal berdua di rumah ini, selain Mbah Yem yang datang pagi untuk memasak dan bersih-bersih rumah. Anak-anak kami empat orang, semuanya sudah berumah tangga dan tinggal di luar kota.
Dan kini, Joan ingin mengajakku bertemu. Pertemuan senja di Stasiun Bantul. Ada-ada saja. Perempuan itu selalu melekatkan masa lalunya dalam setiap langkah. Dulu kami sama-sama sekolah di SMP Muhammadiyah, selatan Gedung Parasamya sekarang. Joan, anak pintar. Ia senang menulis surat, terutama pada kekasihnya, Sudarman. Ia juga senang mengoleksi amplop dan kertas surat. Katanya setiap warna ada maknanya. Joan akan buru-buru membalas surat kalau kertas surat itu berwarna biru.
“Wah, si pengirim surat telah menanti balasanku.”
Kali lain ia akan tenang-tenang saja saat menerima surat dari teman lelaki, meskipun kata-katanya teramat romantis.
“Lihat warna kertasnya. Warna kuning menandakan si pengirimnya benar-benar tulus ingin bersahabat.”
Ai, mana bisa warna surat dijadikan pedoman seperti itu. Kalau saat menulis surat hanya kertas itu yang teronggok di depan mata, bagaimana? Nyatanya, Sudarman sendiri lebih sering berkirim surat dengan kertas putih.
Sudarman, bekerja di kantor pos kota. Berangkat pagi, pulang sore. Dengan sepeda untanya, kelihatanlah dia sebagai lelaki gagah. Joan dan aku sering berpapasan dengannya saat berangkat sekolah. Rumah kami berada di sekitar Stasiun Bantul. Pagi hari kami sering berada di stasiun itu, berpura-pura menonton kereta yang datang dan pergi. Akan tetapi sebenarnya kami menunggu Sudarman yang akan bekerja. Kami tergesa meninggalkan stasiun saat kereta pagi benar-benar datang. Karena dari dalam kereta itu, beberapa guru kami adalah penumpangnya. Bertahun kami lakukan kegiatan itu. Baru setelah lulus sekolah kami berhenti. Joan ikut orang tuanya ke Jakarta, sedangkan aku masih di Bantul. Sudarman sendiri juga tidak ada kabarnya. Ah, Johana, barangkali ia masih ingat suara kereta api diesel Krupp D yang melengking selaksa orang menjerit.
Waktu kecil, aku, Joan, dan anak-anak sekitar stasiun saban sore selalu berbau wangi. Wajah segar kami setelah mandi akan sumringah begitu suara kereta api terdengar. Ya, kami telah berada di Stasiun Bantul, berjajar rapi, mirip penumpang yang lain. Kami akan melambaikan tangan kepada masinis, bersenyum sapa, kemudian memasuki gerbong kereta. Penjual karcis dan masinis sudah sangat hapal dengan kami. Tanpa pungutan biaya, kami bebas duduk di kursi kereta kalau memang tidak digunakan penumpang lain. Namun biasanya, kami lebih senang berdiri atau kalau duduk kami memilih tempat duduk dekat jendela. Betapa lucunya melihat rumah-rumah dan pepohon berjalan mundur dengan cepat. Di dalam kereta, kami saling cekikikan karena  tubuh kami bergoyang-goyang. Kami pun berhamburan keluar saat kereta berhenti di Stasiun Palbapang.
“Hati-hati,” begitu kata masinis.
“Ya Pak, terima kasih.”
Selanjutnya, kami menunggu kereta yang akan berangkat ke Jogja, menumpang sampai Stasiun Bantul lagi.
Ada cerita ketika Joan bersepeda ke sekolah. Banyak teman-teman sekolah mengerubuti sepeda gazele seri 11 itu. Joan senang sekali karena mendapat perhatian. Memang, saat itu baru beberapa anak yang mempunyai sepeda, termasuk guru-guru kami. Guru-guru kami umumnya berangkat bekerja dengan menumpang kereta. Tiba di stasiun mereka berjalan sejauh setengah kilometer untuk sampai sekolah. Teman-teman kami pun demikian. Kendati jauh, mereka tetap berjalan kaki. Karena memang hanya cara itu yang mungkin ditempuh.
Akan halnya sepeda Joan, entah siapa yang melakukannya, suatu hari saat pulang sekolah sedelnya sudah tidak ada. Kami riuh mencarinya. Guru-guru kami pun turut mencarinya. Anehnya, sedel itu ketemu di atas meja guru di ruangan kelas kami. Sejak kejadian itu, Joan tidak lagi pergi sekolah dengan sepeda.
Sore itu aku minta suamiku untuk menemaniku ke stasiun. Kami cukup berjalan kaki. Menapaki usia senja, barangkali hal langka seorang teman meluangkan waktunya sekadar bercengkrama dengan kita. Selain jarak dan waktu, faktor fisik juga menjadi penghalang. Padahal, banyak sekali cerita akan terurai. Saat-saat seperti inilah suami benar-benar menjelma sebagai teman hidup. Atau sebaliknya, istri adalah sebaik-baik sahabat. Penampilan tidak lagi terlalu dirisaukan, meski rambut memutih dan mata mulai rabun. Suami kita agaknya lebih senang menyeruput teh hangat daripada melumat bibir kita. Dan kita sebagai istri, cukuplah manggut-manggut mendengarkan keluhan suami akan tubuhnya yang sering masuk angin dan kakinya yang pegal-pegal. Atau mendengarkan ide untuk masa depan yang tinggal sepotong ini. Ah, kalau itu bisa dilakukan, kita sudah dianggap cantik sehingga tak perlu khawatir dia mencari perempuan lain.
Seperempat jam kami menunggu di Stasiun Bantul, Joan belum juga datang. Dalam suratnya dia akan datang pukul empat sore, persis seperti datangnya kereta sore pada waktu itu. Kami mulai pegal mondar-mandir di sekitar stasiun sambil membatin lobang-lobang angin yang menempel di dinding atas bagian muka stasiun. Seluruhnya berjumlah dua belas buah, empat di muka, empat di belakang, dan dua di sisi kiri dan kanan. Sebenarnya hanya dua pertiga dari lingkaran itu yang berfungsi sebagai fentilasi. Sepertiga yang lain hanyalah lengkungan yang menyatu dengan tembok. Pada lubang itu dipasang teralis vertikal horizontal. Batang besi yang digunakan besar-besar, kira-kira berdiameter setengah inchi.
Sepintas lalu, bangunan itu tak berbeda dengan rumah penduduk. Ukurannya tak terlalu besar, tak ada ciri-ciri stasiun di sana. Atapnya berbentuk limasan dan terbuat dari genteng tanah. Posisinya sedikit lebih tinggi dari bagunan rumah di sebelahnya. Sedikit mendekat, terlihat bahwa tembok itu terbuat dari campuran semen, pasir, dan batu kerikil. Karakteristiknya mirip dengan tembok-tembok bangunan lain buatan Belanda.
Pedagang makanan itu mengamati kami. Aku mencoba tersenyum padanya. ”Warung makan Stasiun”, begitu tertulis di atas pintu masuk. Sedia soto babat, soto daging sapi, soto daging ayam, nasi rames, gado-gado. Kami memasuki warung tersebut.
“Teh hangat dua Mbak,” kataku sambil merapikan gamis panjang dengan ujung borcade yang aku kenakan.
“Pak, duduk sini!” lelakikku perlahan mendekat pada kursi panjang yang aku duduki. Koran yang tergeletak di meja diambilnya.
Geli rasanya duduk di warung ini. Dulunya, di tempat inilah petugas kereta api sibuk melayani pembelian tiket. Sementara bagian ujung yang lain orang-orang berkerumun menanti kereta. Sekarang, tempat itu difungsikan sebagai bengkel milik koperasi karyawan Pemda Bantul. Sore hari, kegiatan bengkel usai, dan rolling door bercat merah akan menutupnya. Selanjutnya giliran penjual jamu menggelar dagangnya di bekaseksplasement stasiun.
“Joan belum juga datang Pak.”
“Ditunggu saja,” sahut suamiku.
Aku memandangi jalur lambat di depanku. Motor dan sepeda ontel terlihat berlalu-lalang. Di bawah aspal itulah rel panjang terkubur bersama episode-episode hidup yang pernah tercipta. Peron kereta api berada di seberang rel sebelum jalan utama. Jangan dibayangkan jalan Jenderal Sudirman ini seluas sekarang. Jalan itu hanya cukup dilalui sebuah gerobak. Setelah jalan, rel yang menuju ke utara terbentang.
Konon, rel yang terkubur di bawah aspal itu membentang dari Yogyakarta, Bantul, Srandakaan, hingga Brosot. Bahkan, ke arah utara, sampai Magelang. Rel-rel kereta api tersebut dibangun oleh Pemerintah Kolonial Belanda tahun 1895, jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Stasiunnya sendiri sangat banyak, dari Stasiun Tugu ke arah selatan saja paling tidak ada tujuh stasiun, ada Stasiun Ngabean, Dongkelan, Winongo, Bantul, Palbapang, Srandakaan, dan Brosot.
Tahun 2008 silam, terpetik kabar dari pernyataan Menteri Perhubungan RI, jalur KA akan dihidupkan lagi. Hmm, aku tak bisa membayangkan, apa yang terjadi jika rencana itu benar-benar direalisasikan. DIY sudah tak seperi dulu, bung, sangat banyak yang harus dikorbankan.
Ah, Johana, belum juga terlihat batang hidungnya. Rupanya aku harus menunggu lebih lama lagi.
“Pak, hampir Magrib.”
Suamiku meletakkan koran yang dibawanya.***
Juara 1 Lomba Menulis Cerpen Tempoe Doeloe yang diselenggarakan arsitekturindis.com tahun 2009.