Cincin Bermata Hijau

Aman 12/13/2011
Aman
13/12/11
Siska Yuniati

Sosok Mbah Kakung tidak akan lepas dari cincin bermata hijau. Cincin dengan kuning keemasan berpadu dengan warna hijau di pusatnya. Seperti sinar matahari pagi yang menyepuh hamparan rumputan. Perpaduan warna alam, begitu sempurna, anggun, dan memberi kesan berkelas. Kami sekeluarga tidak tahu ihwal cincin itu. Menurut Ibu, cincin itu sudah ada sebelum ibu lahir. Simbah juga tidak pernah bercerita bagaimana cincin itu sampai berada di tangannya. Dulu, semasa Simbah Putri masih hidup, Ibu pernah bertanya. Namun juga tidak ada jawaban. Sepertinya kedua Simbahku sudah bersepakat tentang hal itu. Jadilah cerita cincin itu terbungkus rapi dalam kehidupan Simbah.

Ibu berpesan kepadaku untuk tidak menanyakan cincin itu kepada Simbah. Selain tidak ada gunanya, Ibu tidak ingin membuat Simbah tersinggung. Ibu tahu betul betapa aku sering memaksa jawaban atas segala pertanyaan yang kuajukan. Simbah sudah sepuh, sayang kalau harus resah dengan lontaran tanyaku. Untuk kali ini aku mengalah. Aku sendiri tahu cincin itu karena seringnya melihat Simbah mengelap cincin itu. Simbah akan  menimang kemudian menerawangnya. Begitulah sejak aku kanak-kanak hingga sekarang kelas dua SMU, Simbah tidak pernah bosan memperhatikan cincin itu. Ada kalanya Simbah menyorotkan lampu senter pada bagian mata cincin, lantas buru-buru melihatnya dengan kaca pembesar.

"Asli!" kira-kira itu yang dilontarkan Simbah.

"Asli. Ini asli zamrut. Tidak ada gelembung udara bundar-bundar di batu ini. Dan lihatlah warna hijau tuanya, benar-benar perlambang keberuntungan."

Ibu hanya geleng-geleng menyaksikan kelakuan Simbah. Ibu mengerti tidak begitu cara memeriksa keaslian zamrut. Harus dengan senter khusus, yang biasa digunakan di toko-toko perhiasan. Tapi Simbah tetap ngotot bahwa itu zamrut asli, zamrut pembawa  keberuntungan. Barangkali itu alasan Simbah begitu istimewa memperlakukan cincinnya. Biarpun begitu, Simbah tidak pernah melingkarkan cincin itu pada jemarinya. Simbah hanya menyimpannya di sebuah kotak kayu setelah sebelumnya dibungkus dengan kain putih. Kotak kayu itu pun ditutup rapat dan dimasukkan dalam laci almari yang juga tertutup rapat. Iseng aku usulkan untuk menjualnya. Siapa tahu kalau memang zamrut asli, tentulah bernilai jual tinggi.

"Hus, tahu apa kau ini. Tak ada yang dapat menukarnya, biarpun satu karung rupiah teronggok di depan mata!!"

Simbah tidak murka, hanya menatapku tajam, sebagaimana tatapan seorang komandan yang geram pada anak buahnya. Dan aku anak buah yang dungu kalau tidak juga paham bahwa betapa cincin itu sangat berharga, setidaknya bagi Simbah.

Suatu kali dalam temaram. Malam dingin menggingit. Aku masih memijit kali Simbah. Wajah tirus Simbah demikian menyita perhatianku. Garis-garis wajahnya, lengkung bibir yang datar, kantung mata  menebal, cukuplah mengabarkan padaku telah banyak episode yang pernah dimainkan SimbahSimbahku, berpuluh tahun lalu adalah prajurit gagah yang tidak akan menyurutkan langkah kendati musuh berdiri pongah. Mempertahankan setiap jengkal tanah adalah amanah. Dan sifat amanah itu pula yang sering kali diwejangkan padaku.

"Budi, kau kembalikanlah pada yang punya," lirih Simbah berujar. Matanya terpejam dan napasnya turun naik. Sungguh sebuah keajaiban. Tiba-tiba Simbah memberikan cicin bermata hijau itu padaku.

"Kembalikan pada siapa Mbah?" kataku menyelidik. Aku diliputi perasaan ingin tahu yang begitu menggebu. Tentang cicin itu dan masa lalu Simbah. Pertanyaan yang belum pernah kudapatkan jawabannya.

"Cincin itu milik Suster Alin."

"Suster Alin?" Otomatis keningku mengerut. Nama yang begitu asing, jika ditilik dari 85 tahun usia Simbah. Orang Cina kah? Atau seorang Suster di sebuah rumah sakit yang pernah dikunjungi Simbah?

"Simbah kenal di mana?"

"Ganjuran, Rumah Sakit Elisabeth"

Lagi-lagi aku terperanggah. Rumah Sakit Elisabeth, sebuah rumah sakit yang menurutku kurang strategis untuk kami kunjungi. Rumah kami terletak di pusat Kota Bantul, dekat dengan sebuah rumah sakit pemerintah dan beberapa rumah sakit swasta. Kalau sampai singgah di Rumah Sakit Elisabeth tentulah butuh waktu yang panjang. Entah bagiSimbah. Setahuku Simbah juga tidak pernah berobat ke sana.

Menurut cerita Simbah, Suster Alin adalah seorang Belanda yang ditugaskan di Indonesia. Ia bekerja di rumah sakit Elisabet di Ganjuran. Perkenalan Simbah dengan Suster Alin lebih disebabkan karena kondisi perang. Aksi polisionis Belanda pada Desember 1948 membuat TNI harus terus melakukan perlawanan pada Belanda di mana pun itu. Demikian pula Simbah yang tergabung dalam Batalyon Sardjono yang bermarkas di Bantul beberapa kali melakukan penyerangan. Pada suatu penyerangan, Simbah terluka. Sebuah peluru membobol perut SimbahSimbah berusaha menyelamatkan diri dengan berlari menuju rumah sakit terdekat. Suster Alin yang pertama sekali melihat kedatanganSimbah segera menyembunyikan Simbah dalam sebuah kamar gelap di rumah sakit. Suster Alin sudah terbiasa dengan kelakuan serdadu Belanda. Mereka akan terus mengikuti ceceran darah hingga memastikan bahwa tentara yang mereka incar telah mati.

"Stoppen! Ini rumah sakit, tidak ada aturan bawa-bawa senjata. Afslag!!" Suster Alin mengusir serdadu Belanda.

Sepuluh hari Simbah dalam perawatan Suster Alin sampai terdengar kabar bahwa dusun tempat tinggal Simbah dibakar Belanda. Simbah pun memaksa keluar dari rumah sakit. Suster Alin melarang. Simbah terus memaksa, dengan alasan seluruh keluarga ada di dusun itu, termasuk Murti (Simbah Putri) gadis yang akan dinikahi Simbah. Dengan berat hati Suster Alin melepas Simbah. Diberikannya cincin bermata hijau pada Simbah, dengan keyakinan cicin itu akan membawa keberuntungan. Simbah berjanji akan mengembalikan cicin itu begitu keadaan aman. Sayang, ketika Simbahmencari Suster Alin di rumah sakit Elisabeth setelah Serangan Umum 1 Maret 1949, Suster Alin telah kembali ke negerinya bersama tentara dan orang Belanda lainnya.

***

Pulang sekolah aku menelusuri Jalan Bantul dengan Supra X pabrikan 2001. Mengarah ke Selatan, angin semakin keras. Lalu lintas tidak begitu padat, tidak pula sepi. Kendaraan bermotor masih berseliweran. Beberapa mobil yang menyalipku berplat nomor luar kota. Barangkali mereka akan mengunjungi Pantai Samas.  Selanjutnya bus-bus kecil jurusan Pantai Samas bersahutan membunyikan klaksonnya, membuatku beberapa kali harus merapat ke tepian. Begitu mendahuluiku, kepulan asap sisa pembakaran tanpa ampun memasuki aliran pernapasanku. Buru-buru aku membekap mulut dan hidungku, agaknya slayer yang melilit sebagian wajahku belum mampu menahan serangan ini.

Aku belum tahu pasti di mana letak rumah sakit St. Elisabeth. Setahuku, dari arah kota Bantul, belok kiri. Tepat pada sebuah jalan aspal dengan jajaran Polyalthia Longifolia Pendula, pohon glodokan tiang yang menjulang di kiri kanan jalan. Tidak ada jalan lain yang desainnya seperti itu. Seolah memasuki sebuah lorong hijau, terapit hamparan sawah yang menghijau pula. Sinar senja berwarna keemasan, membentuk tombak-tombak panjang, mengantarkanku pada sebuah petualangan.

Petualangan mencari Suster Alin. Padahal menurut logikaku, aku juga meragukan keberhasilanku. Rencanaku, aku akan mencari jejak Suster Alin lewat arsip yang ada di rumah sakit. Kalau sudah dapat alamatnya, maka akan kutulis surat. Kalau ada respons, maka akan kukembalikan cicin bermata hijau, entah kepada Suster Alin atau anaknya, atau pada cucunya.

Pencarian ini layaknya kegiatan spionase. Diam-diam dan sangat hati-hati. Kepergianku pun tidak kukabarkan pada Ibu. Barangkali dikiranya aku masih ada kegiatan di sekolah, seperti yang sudah-sudah. Aku sudah berjanji padaSimbah untuk menyimpan kisah cincin bermata hijau. Dan aku sudah berjanji untuk menunaikan keinginan Simbah, mengembalikan cincin itu. Sejak membuka cerita cicin bermata hijau, Simbah pun menjadi lebih pendiam. Simbah lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam kamar. Kalau tidak mendaras Al-quran, beliau akan berbaring di atas dipan. Setiap kali aku mendekat, Simbah akan tersenyum. Aku tidak dapat menafsirkan senyuman Simbah, namun senyum itulah yang melecutku untuk menguber Suster Alin.

Tiba di depan Rumah Sakit Elisabeth, aku tertegun. Baru pertama kali aku di tempat ini. Seperti rumah sakit pada umumnya, bangunan kokoh dan bersih. Sebuah mobil ambulans terparkir di halaman. Tidak ada kesan kuno seperti bayanganku. Beberapa orang keluar masuk rumah sakit, beberapa di antaranya perempuan dengan seragam putih-putih, kutaksir mereka adalah perawat di sini. Aku bingung harus ke mana, menilik seragam putih abu yang kukenakan, pastilah orang segera mengenaliku sebagai seorang pelajar. Ditambah, identitas sekolah yang melekat di bajuku, semua dapat mengerti aku siswa SMU mana.

Sebenarnya, aku ingin melihat pabrik gula seperti yang pernah diceritakan Simbah. Ingin melihat rumah loji milik keluarga Schmutzer, ingin melihat garasi yang pernah digunakan sebagai poliklinik, ingin melihat candi suci. Akan tetapi keinginan itu kuurungkan. Seorang perawat tersenyum ramah, dan menanyaiku.

"Maaf, bisa saya bantu?" katanya renyah. Inilah buah dari kebingunganku. Aku hanya berdiri di sudut halaman tanpa berbuat sesuatu. Tentu saja di halaman yang tidak begitu luas ini, kehadiranku akan menyita perhatian.

"E...e... saya ingin bertemu Suster Alin," jawabku begitu saja.

"Suster Alin?" perawat itu balas bertanya.

"Eh, maaf, informasi rumah sakit."

"Informasi rumah sakit?"

Sudah kuduga, perawat itu tidak siap dengan jawabanku.

"Maksudnya? Sejarah rumah sakit ini?"

"Ya,.. barangkali seperti itu," aku menjawab ragu.

"Kalau itu bisa bertanya di pasturan," perawat menunjuk bangunan gereja yang tidak jauh dari rumah sakit. Kini aku semakin ragu. Nyaliku menjadi ciut. Tidak ada yang kukenal, aku juga tidak tahu bagaimana memulai cerita cincin bermata hijau.

"Buat riset ya? Biasanya pastur akan membantu, tapi beliau akan datang besok sore. Coba saja datang."

Aku mengangguk dan berbasa-basi mengucapkan terima kasih, kemudian meninggalkan halaman rumah sakit.

Limbung. Aku kecewa dengan diriku. Sampai di sini tidak ada hasil. Bagaimana aku akan mengembalikan cincin itu, jika jejak Suster Alin tidak aku temukan. Aku termangu di sebuah bangku di bawah pohon glodokan tiang. Daunnya yang ramping memang tidak cukup memberiku rasa teduh, namun setidaknya aku masih dapat melepas penat, sambil berharap ada ide jitu terlintas.

"Maaf, apa Anda akan mencari informasi rumah sakit ini?" lembut, suara seorang perempuan tinggi membuyarkan lamunanku. Dilihat dari pastur, warna kulit, bentuk hidung, dan matanya dia bukan orang Indonesia.

"Upss," aku buru-buru mengalihkan perhatian.

"Ik dengar Anda ingin tahu tentang rumah sakit ini. Barangkali saya bisa membantu," tanpa kuminta perempuan itu duduk di ujung lain dari bangku yang kududuki.

"Rumah sakit ini, seperti cerita yang berkembang didirikan oleh Julius Schmutzer bersama istrinya Caroline van Rijkevorsel. Mereka juga pemilik pabrik gula Gondanglipura. Pabrik gula itulah yang menopang biaya rumah sakit, karena waktu itu tujuannya untuk menolong masyarakat sekitar agar mendapatkan pelayanan kesehatan."

Aku menyimak cerita itu dalam diam.

"Oh, ya, kenalkan Ik, Maria. Perawat juga. Cerita tentang keluarga Schmutzer dan rumah sakit ini begitu populer bagi kami para perawat Belanda. Makanya kadang masih ada perawat Belanda yang datang kemari.".

Aku mulai berpikir untuk mengajukan pertanyaan.

"Em mm..."

"Maria, panggil seperti itu," jawabnya tangkas.

"Maria, sudah lama di Indonesia," pertanyaan yang biasa.

"Ya, .. setidaknya bisa membuatku lancar berbahasa Indonesia."

"Kalau begitu tahu kira-kira siapa saja perawat Belanda yang pernah bertugas di sini?"

Maria terdiam beberapa saat.

"Banyak. Siapa yang Anda cari?"

"Suster Alin. Barangkali ada di arsip yang di simpan di pasturan?"

Maria tersenyum.

"Tidak akan Anda temukan. Di arsip hanya akan tersebut empat orang Suster yang mula-mula datang ke rumah sakit ini. Tertanggal 4 April 1930. Mereka adalah Sr. Yudith De Laat, Sr. Ignatia Lemmens, Sr. Simona, dan Rudolpha De Broot. Mereka inilah yang mengurus rumah sakit sekembalinya keluarga Schmutzer ke Belanda."

"Mm... sulit juga ya. Kalau cincin ini, ada yang tahu tidak ya?" Perlahan aku mengeluarga kotak kayu dari dalam ranselku. Kuambil bungkusan kain putih dari dalam kotak. Sebentar, cincin bermata hijau menyembul berkilauan cermerlang.

"Boleh Ik pegang?"

Takzim kuserahkan cincin itu pada Maria. Pada saat bersamaan kurasakan bumi bergetar. Angin bertiup kencang. Tubuhku menjadi oleng, seperti tersapu gelombang besar. Belum aku menguasai kesadaranku, handphoneku berdering. Gemetar aku berusaha mengambil handphone dari dalam saku bajuku. Sebuah pesan masuk. Ibu memintaku pulang.

Perasaanku bergejolak. Hari hampir Magrib, dan aku teringat SimbahSimbah selalu berpesan untuk salat tepat waktu, siapa tahu ajal menjemput. Bayangan Simbah berkelebat. Aku semakin tidak karuan. Simbah akhir-akhir ini sering mengeluh lelah. Pikiran tidak-tidak merajaiku. Ada rasa sedih menggelayut. Aku dilanda takut. Aku segera memacu motorku dengan kecepatan tinggi. Dada ini menggelegak seiring bertalunya suara azan.

***

Aku terpaku di depan jenazah Simbah. Seluruh tubuhnya telah ditutup jarik.Tidak ada yang dapat kukatakan. Aku datang ketika beberapa tetangga telah berkumpul mempersiapakan segala sesuatunya.

"Dari mana saja kau Budi?" pertanyaaan Ibu menghujam tepat ke ulu hati. Aku tidak dapat memberikan jawaban.

"Kata Simbah kau telah bertemu dengan Suster Maria Caroline?"

Aku terperanggah. Tiba-tiba lututku begitu lemah, tulang-tulang berlolosan. Cincin bermata hijau dan Suster Alin. Ah, aku ambruk.***
Dikutip dari kumpulan cerpen Melodi Cinta Putih Abu-abu (Leutikaprio, 2011).


Thanks for reading Cincin Bermata Hijau | Tags:

Next Article
« Prev Post
Previous Article
Next Post »

Related Posts

Show comments